Kasepuhan Banten Kidul Ciptagelar

Banyak yang meyakini bahwa Kasepuhan Banten Kidul adalah salah satu suku tertua di tanah Sunda. Sebuah suku yang hidup di wilayah Pegunungan Halimun yang masih masuk daerah Sukabumi, Jawa Barat. Masyarakat disana masih menjunjung tinggi budaya leluhur, sementara daerah-daerah sekelilingnya sudah beradaptasi dengan budaya dan gaya hidup yang lebih moderen.

Saya akhirnya berkesempatan untuk mendatangi sebuah desa yang terletak di dataran tinggi Gunung Halimun ini untuk dapat melihat langsung suasana keseharian masyarakat disana.

Ciptagelar

Beberapa tahun lalu, kita mungkin mengenal sesosok kepala suku bernama Abah Anom. Seorang pemimpin yang mendirikin desa Ciptagelar dan juga menjadi pemimpin tertinggi di Kasepuhan Banten Kidul ini. Beliau wafat pada tanggal 6 November 2007.
Dari berita yang pada saat itu saya dengar, ketertarikan saya untuk mengunjungi desa ini semakin besar. Banyak informasi yang saya terima bahwa mereka hidup dengan mandiri dan sederhana ditengah hutan dan jauh dari kota.

Saya bersama teman-teman di lingkungan saya tinggal (tetangga), akhirnya dapat berangkat untuk bertemu dengan sebuah masyarakat yang kami nilai sangat unik ini.

Kami berangkat dari Depok menuju Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Setelah menginap satu malam di The Legon Pari Resort Sukabumi, kami berangkat ke Gunung Halimun dengan menggunakan dua buah SUV 4WD. Opsi lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sepeda motor atau sepeda gunung bahkan apabila anda suka dengan tracking, anda dapat hiking berjalan kaki menembus pegunungan untuk dapat sampai ke lokasi.

Perjalanan melalui daerah Sukawayana menuju daerah Sirnarasa. Jalan diruas ini cukup beragam, mulai dari aspal biasa, aspal hotmix sampai tanpa aspal alias hanya menyusuri susunan batu?macadam atau pondasi jalan. Hujan yang mengguyur sepanjang ruas ini membuat jalan cukup licin.
Kami berangkat pada sore hari sehingga penerangan hanya bergantung kepada head lamp mobil saja.

Perjalanan dilanjutkan menuju desa Ciptarasa. Jalan semakin menantang dengan turunan curam, jembatan dan tanjakan terjal. Suasana mulai gelap dan hujan menemani kami selama perjalanan di ruas ini. Kami tiba?di desa Ciptarasa selepas Maghrib, suasana sepi menyambut kami memasuki desa.

Tidak lama berselang, seseorang berlari menghampiri kami dan menyambut kami dengan ramah. Kami diajak masuk kedalam sebuah rumah besar yang memang disiapkan untuk menyambut tamu ?yang datang. Ternyata beliau adalah seorang ketua RT di Desa tersebut. Air hangat menyambut kami semua malam itu. Tak lama kemudian ketua RW di Desa yang memiliki 60an kepala keluarga tersebut ikut bergabung dan menyambut kami dengan ramah. Kami juga diajak untuk berkeliling rumah sambil menerangkan kondisi yang ada.

Kami menyampaikan maksut untuk berkunjung ke Desa Ciptagelar malam itu, dan Pak RT tadi menawarkan untuk menemani kami melintasi malam di Hutan Halimun yang gelap gulita, sebuah tawaran yang tentu saja tidak mungkin kami tolak, mengingat kami sama sekali tidak mengetahui seluk beluk hutan tersebut.

Almarhum Abah Anom, dahulu berasal dari Desa Ciptarasa, sebelum memutuskan untuk pindah membuat Desa Ciptagelar

Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan ditengah suasana hujan gerimis. Disinilah pengalaman yang cukup menantang perjalanan lebih kurang 9km dengan jalanan terjal dan gelap gulita.
Lebih kurang 90 menit waktu yang kami habiskan untuk perjalanan dari Desa Ciptarasa sampai ke Desa Ciptagelar. Rasa takut cukup menghantui, bukan karena suasana angkernya tetapi lebih kepada kondisi mobil yang kami gunakan apakah mampu menembus hutan atau tidak. Maklum walaupun menggunakan kendaraan 4WD, tetap saja tidak pernah digunakan untuk off-road sebelumnya.

Pukul 21:00 kami tiba di Desa Ciptagelar. Suasana gelap gulita menyambut kami. Sejenak saya berpikir mereka tidak memiliki listrik, tetapi warga disana menyampaikan bahwa sore itu turbin PLTA milik mereka terganggu longsoran akibat hujan deras sehingga pasokan listrik terhenti. Mereka telah mandiri mengelola energi listrik sendiri dari hasil bantuan CSR banyak perusahaan yang bersimpati dengan kelompok masyarakat ini.

Kami dipersilahkan untuk istirahat dan membersihkan badan. Kopi panaspun hadir menemani ngobrol kami malam itu. Masyarakat disana ramah-ramah waktu menyambut kami semua. Tidak lama kemudaian, kami dipersilahkan untuk makan malam seadanya. Wah nasi panas, sambal dan lalapan adalah menu yang paling lezat malam itu ditambah dengan potongan daging ikan.
Sebuah kamar telah disiapkan untuk kami bermalam, tetapi kami lebih memilih tidur di hall bersama-sama dan membiarkan teman saya yang suka?ngorok (mendengkur) keras tidur didalam kamar dengan tempat tidur dan kasur.

Tidak disangka, kami ternyata diundang juga menemui Abah Anom saat ini, yang dikenal juga dengan Abah Ugi (Ugi Sugriana Rakasiwi) yang saat ini menjadi pemimpin Kasepuhan Banten Kidul. Kami berkesempatan ngobrol dengan beliau.

Dari ruangan yang kami datangi, saya melihat bahawa Abah Ugi suka dengan teknologi,dilihat dari adanya perangkat elektronik rakitan didepan ruangannya. Abah Ugi juga suka musik dan main band dengan warganya. Bahkan di Desa Ciptagelar memilik stasiun radio dan stasiun televisi sendiri, ini karena ketertarikan Abah Ugi dengan elektronika dan energi listrik yang mandiri.

Hujan deras dan listrik remang-remang dari genset diesel pangganti turbin PLTA menemani malam kami. Bantal dan selimut menemani tidur kami di malam yang dingin. Air panas dan kopi kemasan serta teh celup tersedia sepanjang malam. Setelah puas ngobrol, satu-persatu mulai tertidur pulas.

Suasana pagi di desa Ciptagelar setelah diguyur hujan semalaman, sangat tenang dan sepi. Masyarakat masih berdiam dirumah masing-masing dan kami mulai berkeliling melihat suasana desa pagi itu. Hampir tidak bertemu masyarakat kecuali mereka yang melayani kami di rumah utama, mungkin mereka menunggu udara lebih cerah untuk memulai aktivitas mereka.

Saya melihat lumbung padi dengan bentuk yang unik, dalam bahasa Sunda disebut dengan Leuit.?Kasepuhan Banten Kidul hidup dari bertani, mereka masih menggunakan cara lama untuk menanam padi. Padi-padi tersebut akan mulai dipanen dalam waktu 7 bulan setelah mulai masa tanam, dan dakam satu tahun mereka hanya diijinkan satu kali menanam padi secara bersamaan.

Ada sekitar 168 jenis padi yang dimiliki oleh komunitas ini, mereka mengatakan bahwa mereka juga masih memiliki beras ketan bogor.?Terus terang, saya tidak mengerti bedanya, tetapi memelihara budaya oleh mereka, dapat saya katakan sangat luar biasa di jaman serba instant ini.
Beras-beras tersebut dapat disimpan lama didalam lumbung bahkan sampai belasan tahun dab tetap awet tanpa pengawet.?Budaya ini membuat mereka memiliki informasi mengenai jenis-jenis padi yang masih murni dan belum tercampur dengan varitas lainnya.

Setiap leuit, dapat menyimpan padi sampai dengan 2,5 ton dan padi-padi mereka tidak diijinkan?untuk diperjual belikan. Simpanan padi yang banyak didalam lumbung tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, menghidangkan untuk tamu dan untuk membantu daerah lain yang terkena musibah dan membutuhkan bantuan pangan, sebuah konsep ketahanan pangan yang luar biasa.

Setelah puas menikmati pagi, kami sudah ditawarkan sarapan pagi. Menyambut tamu yang datang, bagi mereka merupakan sebuah cara untuk menunjukan kesederhanaan dan kebaikan mereka. Setelah selesai sarapan dan berkemas, kami mohon ijin pamit untuk kembali ke Pelabuhan Ratu, perjalanan off-road ?selama 4 jam telah menanti kami kembali.

Desa yang nyaman dan masyarakat pekerja yang ramah, yang telah hidup di Gunung Halimun selama puluhan generasi yang masih menjaga budaya leluhur mereka.
Desa Ciptagelar berada didalam Kawasan Taman?Nasional Halimun.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *