Suatu sore, di sebuah gedung perkantoran disela-sela obrolan canda, tiba-tiba menjadi sesuatu yang menurut saya cukup serius.
Saat itu kala seseorang menyesali karena tidak meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena asik dengan pekerjaannya, seorang rekan lain memberikan sebuah cerita pengalaman keluarganya.
S2 vs SMA
Dia bercerita tentang sebuah pengalaman yang pernah dilihatnya mengenai kata menyesal.
Ada dua orang saudara adik dan kakak, dimana sang kakak hanya tamatan SMA sementara adiknya adalah lulusan S2 Perguruan Tinggi ternama di Indonesia. Sang kakak yang tamatan SMA memiliki keahlian bermain musik, hidupnya didedikasikannya untuk musik.
Suatu hari, saat penghasilannya di musik mulai menurun, baginya yang tampak hanyalah hari-hari di kemudian hari yang suram.
Sementara sang adik yang bekerja keras untuk tekun belajar dan menyelesaikan studi tingkat lajutnya, pada saat yang sama sedang menikmati hasilnya dengan pekerjaannya pada institusi pemerintah.
Si kakak yang mulai putus asa akhirnya menyesali dirinya, mengapa dahulu tidak mau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, yang mungkin dapat membawanya ke jenjang pekerjaan, sementara musik mungkin akan dijadikan hobbynya saja menemani hari-harinya sebagai seorang pegawai. Sang kakak pun mulai banyak kehilangan inspirasi untuk membuat lagu-lagu yang hasilnya dapat menghidupi dirinya.
Si Adik mulai mendapat kepercayaan untuk dapat menduduki posisi penting yang lebih tinggi dan tentu saja dengan penghasilan yang lebih baik, hampir tidak ada masalah yang dihadapi oleh sang Adik untuk dapat menjalani hidupnya di masa sekarag dan masa yang akan datang.
Tahun berlalu dan kedua saudara ini menjalani hidupnya masing-masing, seolah bertolak belakang. Sampai suatu hari Ibu mereka jatuh sakit karena usianya sudah tua. Ibu mereka, ingin pindah ke kota kelahiranya di Jawa Tengah jauh dari Jakarta dimana mereka tinggal selama ini.
Sebagai musisi, si kakak memiliki cukup banyak waktu, yang akhirnya memungkinkan dirinya untuk dapat menemani ibunya di rumah kelahirannya. Segala perangkat musiknya ikut dibawanya, karena baginya mencipta musik dapat dilakukannya jauh dari Jakarta. Segala komunikasi dengan clientnya dapat dilakukan melalui email. Bagi sang kakak, menemani ibunya adalah hal yang biasa.
Sementara si adik, di tengah kesibukannya, mulai mencari-cari waktu agar dapat turut menemani ibunya. Awalnya hampir setiap week-end, dia terbang dari Jakarta untuk mengunjungi ibunya, tetapi saat pekerjaannya mulai menuntut kehadirannya, akhirnya kunjungan mulai berkurang dan akhirnya tidak ada waktu lagi untuk mengunjungi sang ibunda tercinta.
Temanku yang menceritakan kisah ini akhirnya menutup cerita dengan kematian sang ibu. Dan si kakak yang awalnya menyesali diri karena tidak memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan formal, akhirnya dapat menemani ibunya di akhir-akhir waktunya. Sementara sang adik hanya menerima khabar kematian ibunya melalui telpon di sela-sela kesibukannya.
Temanku berkata bahwa tidak perlu ada yang disesali, karena memang jalannya sudah diatur demikian. Mungkin dikemudian hari ada kejadian-kejadian baik yang akan dialami oleh kita semua.
Temanku saat ini sedang terbaring di rumahnya, karena terserang typhus.
————————
Photo milik Miscrosoft
saya ga pernah menyesali pilihan saya
My Blog :
1. http://www.d-revoz.com
2. http://virnity.wordpress.com
Hmmm ini kisah nyata ya.
Klo kata orang itulah pengorbanan… tp klo sampe tdk bs menemani orang yg kita cintai di saat2 terakhir, itu rasanay kok sesak bgd yahh… menyesal bgd.
memang segala sesuatu udah ada jalanya sendiri-sendiri, jadi ngapain harus menyesal hehe